Dinamika Perburuhan dan Polemik OMNIBUSLAW di Indonesia
Oleh: Alfan
Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law pada tahun 2020, Indonesia memasuki babak baru dalam regulasi ketenagakerjaan. Undang-undang ini digadang-gadang sebagai solusi untuk mengatasi kompleksitas hukum yang dianggap menghambat investasi dan penciptaan lapangan kerja. Namun di balik ambisi besar tersebut, lahir gelombang penolakan yang kuat dari kalangan buruh, aktivis, hingga akademisi, yang menilai Omnibus Law sebagai bentuk kemunduran dalam perlindungan tenaga kerja.
Omnibus Law disusun dengan pendekatan yang berbeda dari pembuatan undang-undang pada umumnya. Ia merangkum dan merevisi lebih dari 70 undang-undang yang tersebar di berbagai sektor, termasuk ketenagakerjaan, lingkungan, perpajakan, dan investasi. Pemerintah meyakini bahwa penyederhanaan regulasi ini akan memberikan kemudahan berusaha, meningkatkan daya saing nasional, dan mendorong pertumbuhan ekonomi, terutama di tengah ketidakpastian global dan pascapandemi.
Namun, sebagian besar kritik mengarah pada klaster ketenagakerjaan dalam Omnibus Law. Serikat pekerja menilai undang-undang ini lebih berpihak kepada kepentingan pengusaha dan investor dibandingkan perlindungan hak-hak buruh. Penghapusan upah minimum sektoral, kemudahan bagi perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), perluasan sistem kerja kontrak dan outsourcing tanpa batas waktu, serta berkurangnya jaminan sosial dan perlindungan hukum bagi pekerja dianggap sebagai bentuk pengabaian terhadap kesejahteraan pekerja.
Penolakan terhadap Omnibus Law tidak hanya berlangsung dalam forum-forum diskusi akademik, tetapi juga turun ke jalan. Demonstrasi besar-besaran terjadi di berbagai kota, melibatkan ribuan buruh dari berbagai sektor. Mereka menuntut pencabutan undang-undang tersebut dan menginginkan proses legislasi yang lebih terbuka serta partisipatif. Gelombang protes ini bahkan meluas ke kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya milik buruh, tetapi menyangkut masa depan hubungan industrial nasional.
Situasi memanas ketika Mahkamah Konstitusi pada akhir 2021 menyatakan bahwa proses pembentukan Omnibus Law inkonstitusional bersyarat. Dalam putusannya, MK menyebut bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi asas keterbukaan dan partisipasi publik. Pemerintah diberikan waktu dua tahun untuk memperbaiki undang-undang tersebut. Namun, revisi yang kemudian disahkan pada 2023 tetap menuai kritik karena dinilai dilakukan tergesa-gesa dan kembali mengabaikan aspirasi publik.
Pemerintah berdalih bahwa Omnibus Law adalah langkah reformasi struktural yang tak terhindarkan. Dalam pandangan mereka, fleksibilitas tenaga kerja menjadi kunci untuk menarik investasi, apalagi dalam era persaingan global yang ketat. Mereka menambahkan bahwa perlindungan sosial tetap diakomodasi melalui program seperti Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Namun bagi banyak kalangan buruh, jaminan tersebut belum sebanding dengan hak-hak yang telah dikurangi.
Di tengah tarik ulur ini, hubungan antara pemerintah, pengusaha, dan pekerja menjadi semakin kompleks. Ketimpangan posisi tawar antara buruh dan pengusaha kembali menjadi sorotan utama. Banyak pihak menilai bahwa Indonesia perlu mencari keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan keadilan sosial. Ketika regulasi lebih berpihak pada efisiensi dan fleksibilitas, maka negara perlu memastikan bahwa prinsip-prinsip perlindungan pekerja tetap dijaga.
Polemik Omnibus Law menjadi gambaran nyata tantangan pembangunan di Indonesia yang tidak hanya soal pertumbuhan ekonomi, tetapi juga soal keberpihakan pada rakyat kecil yang menyumbangkan tenaga dan waktu mereka bagi kemajuan bangsa. Red
Komentar
Posting Komentar