Omnibus Law UU Cipta Kerja Dinilai Merugikan Buruh: Ketimpangan Hak dan Kepastian Kerja Makin Memburuk
Oleh: Alfan
RakyatIndonesia.id – Sejak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law pada tahun 2020 dan disahkan ulang dalam versi revisi oleh DPR tahun 2023, gelombang kritik terus datang dari berbagai kalangan, khususnya dari serikat buruh di seluruh Indonesia. Mereka menilai bahwa aturan ini telah mereduksi hak-hak dasar pekerja dan memperlemah perlindungan ketenagakerjaan di negeri ini.
Meskipun pemerintah beralasan bahwa UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja baru dan mempercepat investasi, di lapangan, para pekerja justru merasa dipaksa menerima kenyataan baru yang semakin tidak berpihak pada nasib mereka.
Pemangkasan Hak Dasar Pekerja
Salah satu pasal yang paling menuai penolakan adalah fleksibilitas sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan adanya UU ini, perusahaan diperbolehkan menggunakan tenaga kerja kontrak tanpa batas waktu yang jelas. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, pekerja kontrak dibatasi untuk jenis pekerjaan tertentu dan durasinya maksimal hanya dua tahun. Kini, aturan itu longgar.
"Ini jelas merugikan buruh. Tidak ada lagi kepastian kerja. Hari ini kerja, besok bisa dipecat tanpa jaminan. Kontrak bisa diperpanjang terus tanpa pernah diangkat jadi karyawan tetap," ungkap Said Iqbal, Presiden Partai Buruh dan salah satu tokoh pergerakan buruh nasional.
Tak hanya itu, sistem outsourcing yang diperluas juga menjadi sorotan. UU Cipta Kerja menghapus pembatasan jenis pekerjaan yang bisa dioutsourcing. Akibatnya, kini semua jenis pekerjaan bisa diserahkan ke pihak ketiga, membuat status pekerja semakin rentan dan kehilangan perlindungan sosial yang seharusnya menjadi hak dasar mereka.
Pesangon Dipangkas, Upah Minimum Dipermainkan
Poin lain yang menyulut kemarahan buruh adalah pengurangan nilai pesangon. Dalam UU sebelumnya, buruh yang terkena PHK bisa mendapatkan maksimal 32 kali gaji sebagai pesangon, namun dalam UU Cipta Kerja, jumlah tersebut dikurangi drastis menjadi maksimal 25 kali, itupun dibagi dua antara perusahaan dan BPJS Ketenagakerjaan.
"Perusahaan dapat kemudahan, buruh dapat kepedihan. Saat di-PHK, kami tidak hanya kehilangan pekerjaan tapi juga kehilangan masa depan karena kompensasi tidak layak," kata Sri Wahyuni, buruh pabrik garmen di Bekasi.
Tak hanya pesangon, penghitungan upah minimum juga dipermudah untuk ditekan. Penentuan upah minimum kini lebih banyak mengacu pada pertumbuhan ekonomi dan produktivitas, tanpa mempertimbangkan kebutuhan hidup layak. Alhasil, beberapa daerah tidak lagi mendapatkan kenaikan upah minimum tahunan, meski biaya hidup terus meningkat.
Jam Kerja dan Cuti yang Dilemahkan
UU Cipta Kerja juga dinilai menurunkan standar jam kerja lembur dan memberi ruang bagi perusahaan untuk memperpanjang waktu kerja harian. Hak cuti pun mengalami revisi. Beberapa ketentuan cuti tahunan dan cuti panjang tidak lagi diatur secara tegas di undang-undang, melainkan diserahkan pada kebijakan perusahaan atau perjanjian kerja bersama (PKB).
"Kalau buruh tidak punya serikat atau PKB, ya siap-siap saja hak cuti tidak diberikan penuh. UU ini sangat berpihak pada pengusaha," ujar Rudi Hartono, aktivis buruh dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Gelombang Aksi Penolakan Tak Kunjung Padam
Sejak awal kemunculannya, UU Cipta Kerja sudah memicu aksi unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota. Ratusan ribu buruh turun ke jalan menuntut pembatalan UU tersebut. Aksi mogok nasional pun sempat digaungkan oleh berbagai konfederasi buruh.
Mereka menilai, proses legislasi yang tergesa-gesa, minim partisipasi publik, dan tidak transparan mencerminkan bahwa suara buruh telah diabaikan. Judicial review ke Mahkamah Konstitusi pun telah diajukan, dan meski sempat dinyatakan inkonstitusional bersyarat, pemerintah tetap melanjutkan implementasinya dengan dalih perbaikan prosedural.
Penutup: Masa Depan Buruh di Persimpangan Jalan
Bagi para buruh, UU Cipta Kerja bukan hanya soal aturan hukum, tetapi menyangkut masa depan mereka dan keluarga. Fleksibilitas yang dijanjikan oleh pemerintah ternyata lebih terasa sebagai ketidakpastian. Dalam bayang-bayang liberalisasi ketenagakerjaan, perlindungan yang selama ini diperjuangkan selama puluhan tahun kini terancam terkikis habis.
Selama tidak ada revisi menyeluruh dan keterlibatan nyata dari pihak buruh dalam perumusan kebijakan, maka UU Cipta Kerja akan tetap menjadi luka mendalam dalam sejarah perjuangan kelas pekerja Indonesia. Red
Komentar
Posting Komentar