Situbondo: Kota Santri Pancasila Di ujung timur Pulau Jawa
Dahulu kala, wilayah ini dikenal dengan nama Panarukan, sebuah pelabuhan penting di zaman kolonial Belanda. Panarukan menjadi titik akhir Jalan Raya Pos—jalan besar yang dibangun oleh Gubernur Jenderal Daendels dari Anyer hingga ujung timur Jawa. Dari sinilah arus barang, manusia, dan gagasan mengalir, termasuk semangat perlawanan terhadap penjajahan.
Namun, lebih dari sekadar jalur dagang, Situbondo tumbuh menjadi ladang ilmu dan iman. Para ulama besar dari berbagai penjuru datang dan mendirikan pondok-pondok pesantren. Dari pesantren inilah tumbuh generasi santri yang tak hanya mendalami ilmu agama, tetapi juga menjadi penjaga nilai-nilai moral dan kebangsaan.
Warisan Budaya dan Religiusitas
Di setiap sudut kampung, suara lantunan Al-Qur'an terdengar menjelang senja. Masyarakat Situbondo hidup dalam nuansa religius yang kuat, berpijak pada ajaran Islam yang damai dan menghormati perbedaan. Tradisi seperti tahlilan, selametan desa, hingga hadrah (kesenian sholawat) masih hidup dan menjadi bagian penting dari kehidupan sosial.
Tak heran bila kota ini disebut "Kota Santri". Di tengah modernisasi, semangat spiritualitas tak pernah pudar. Bahkan, di setiap peringatan Hari Santri Nasional, ribuan santri dari berbagai pelosok berkumpul, membawa pesan perdamaian dan semangat cinta tanah air.
Pancasila di Tanah Santri
Situbondo tidak hanya religius, tapi juga nasionalis. Nilai-nilai Pancasila begitu membumi dalam kehidupan masyarakatnya. Keberagaman suku, bahasa, dan latar belakang bukan menjadi jurang pemisah, melainkan kekayaan yang dirawat bersama. Inilah alasan mengapa Situbondo menyandang gelar "Kota Santri Pancasila".
Monumen Garuda Pancasila yang berdiri gagah di pusat kota menjadi simbol kebanggaan itu. Garuda dengan lima sila di dadanya menghadap ke jalan raya, seakan menjadi penjaga abadi nilai-nilai persatuan dan keadilan di bumi Situbondo.
Alam dan Kearifan Lokal
Selain kuat dalam spiritualitas, Situbondo juga diberkahi alam yang luar biasa. Di utara, terbentang Pantai Pasir Putih dengan air laut jernih dan pasir halus. Di timur, Taman Nasional Baluran menghadirkan pesona savana luas bak Afrika. Sementara di pedalaman, gunung dan air terjun menawarkan kesegaran alami yang menyejukkan.
Kearifan lokal juga tercermin dalam gaya hidup masyarakatnya. Petani menanam padi dengan pola tanam yang diwariskan turun-temurun. Nelayan melaut dengan pengetahuan cuaca yang diwarisi dari leluhur. Dan para pengrajin tetap setia membuat batik, tenun, dan anyaman khas Situbondo yang bernilai tinggi. (Red)
Komentar
Posting Komentar