Solidaritas Buruh Indonesia: Kekuatan Rakyat dalam Perjuangan Keadilan Sosial
Pada Hari Buruh Internasional 1 Mei lalu, jutaan buruh dari berbagai sektor—tekstil, transportasi, pertambangan, hingga sektor digital—turun ke jalan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar. Mereka membawa satu pesan utama: "Solidaritas adalah kekuatan kita."
Gerakan Bersama, Tuntutan Bersama
Buruh dari berbagai serikat, termasuk Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), bersatu dalam tuntutan menolak sistem kerja outsourcing yang tak berpihak pada pekerja, mendesak revisi UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh, dan menuntut kenaikan upah minimum yang sesuai dengan kebutuhan hidup layak (KHL).
Ketua KSPI, Said Iqbal, menyatakan bahwa solidaritas lintas sektor dan wilayah menjadi kekuatan utama buruh saat ini. "Kami tidak lagi bergerak sendiri-sendiri. Kini, perjuangan buruh pelabuhan adalah perjuangan buruh pabrik, perjuangan buruh pabrik adalah perjuangan driver ojek online. Kita satu suara," tegasnya.
Digitalisasi Solidaritas
Menariknya, solidaritas buruh kini tidak hanya diwujudkan dalam aksi massa fisik. Di era digital, gerakan buruh memanfaatkan media sosial dan platform komunikasi digital untuk menyebarkan informasi, menggalang dukungan, dan merancang aksi kolektif. Akun-akun seperti @SolidaritasBuruh dan @BuruhBersatu di Twitter dan Instagram menjadi saluran penting untuk membangun kesadaran publik.
Selain itu, buruh sektor informal dan pekerja lepas mulai membentuk komunitas dan jaringan baru yang memperluas cakupan solidaritas, menunjukkan bahwa batas antara formal dan informal kini semakin kabur dalam perjuangan hak pekerja.
Tantangan dari Pemerintah dan Korporasi
Meski demikian, perjuangan buruh tidak mudah. Pemerintah dinilai masih memihak pada kepentingan investor asing dan korporasi besar, sering kali dengan dalih menciptakan "iklim investasi kondusif." Revisi UU Ketenagakerjaan dalam omnibus law dianggap banyak pihak sebagai langkah mundur dalam perlindungan hak pekerja.
"Alih-alih melindungi rakyat, negara malah mengesahkan aturan yang mengorbankan kesejahteraan buruh," kata Mirah Sumirat dari Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK Indonesia). Ia menyoroti minimnya ruang dialog antara buruh dan pemerintah dalam perumusan kebijakan.
Harapan dan Masa Depan
Meski jalan masih panjang, semangat solidaritas yang ditunjukkan buruh Indonesia menjadi titik terang dalam perjuangan demokrasi ekonomi. Pengamat ketenagakerjaan dari Universitas Indonesia, Dr. Yuniarti Rahma, menyebutkan bahwa gerakan buruh yang kuat dan bersatu adalah fondasi penting untuk menciptakan sistem kerja yang adil dan berkelanjutan.
"Buruh bukan hanya objek pembangunan, mereka adalah subjek utama. Tanpa buruh, roda ekonomi berhenti. Kesadaran akan hal ini semakin tumbuh, baik di kalangan buruh sendiri maupun masyarakat luas," jelasnya.
Solidaritas buruh Indonesia bukan sekadar simbol perlawanan. Ia adalah bukti hidup bahwa perubahan sosial bisa dimulai dari bawah, dari tangan-tangan pekerja yang bersatu, dari suara-suara yang menuntut keadilan di tengah riuhnya dunia kerja modern. Red
Komentar
Posting Komentar